Epistemologi Ilmu dalam Pemikiran Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī
Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin (alumni PMH 2011)
Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī menyebutkan bahwa keimanan dalam Islam memiliki 77 cabang. Pemenuhan terhadap cabang-cabang keimanan ini menjadi penentu utama terhadap kesempurnaan keimanan seorang mukmin. Oleh karena itu, semakin banyak cabang keimanan yang dilaksanakan oleh seorang mukmin, maka semakin sempurna keimanannya. Cabang keimanan yang paling utama adalah pernyataan tauhid (yaitu lā ilāha illallāh; tiada Tuhan selain Allah), dan cabang keimanan yang paling rendah adalah menyingkirkan perkara-perkara yang mengganggu dan menyakiti di jalan (Qāmi‘ at-Tugyān ‘alā Manẓūmah Syu‘ab al-Īmān, hlm. 3).
Salah satu cabang keimanan yang harus dilaksanakan oleh seorang mukmin adalah mencari ilmu dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Menurut Syekh Nawawī, mempelajari ilmu adalah wajib dalam setiap waktu dan kondisi. Hal ini berdasarkan perintah Nabi Muhammad saw., yaitu uṭlub al-‘ilm min al-mahdi ilā al-laḥd (tuntutlah ilmu sedari kecil hingga meninggal) (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 7 dan al-Futūḥāt al-Madaniyyah fī asy-Syu‘ab al-Īmāniyyah, hlm. 26). Dalam hal ini, setidaknya ada tiga ilmu yang harus dipelajari oleh setiap mukmin sejak dini, yaitu ilmu tauhid, ilmu fikih, dan ilmu akhlak (tasawuf) (Muhammad Ḥabībullāh, Tarbiyah aṣ-Ṣibyān: Manẓūmah al-‘Arabiyyah wa al-Mandūriyyah fī ‘Ilm al-Akhlāq, hlm. 4). Contoh karya Syekh Nawawī yang menjelaskan tentang ketiga ilmu tersebut (tauhid, fikih, dan akhlak/tasawuf) dalam satu kitab adalah Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Masā’il. Ia merupakan syarah terhadap kitab ar-Risālah al-Jāmi‘ah bayn Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh wa at-Taṣawwuf karya Sayyid Ahmad bin Zayn al-Ḥabsyī.
Selain itu, Syekh Nawawī―mengutip pendapat ulama salaf―menyebutkan empat macam ilmu yang perlu dipelajari. Pertama, ilmu fikih untuk agama. Kedua, ilmu pengobatan untuk tubuh. Ketiga, ilmu astronomi untuk masa. Keempat, ilmu nahwu untuk bahasa. Adapun ilmu yang paling utama dalam Islam adalah ilmu tauhid, lalu ilmu tafsir, lalu ilmu hadis, lalu ilmu usul fikih, lalu ilmu fikih, dan kemudian ilmu alat. Menurut Syekh Nawawī, ilmu harus didahulukan di atas amal ibadah. Sebab, ilmu adalah fondasinya amal ibadah sehingga amal ibadah yang tidak didasari oleh ilmu menjadi tidak sah. Oleh karena itu, menyibukkan diri dengan mencari ilmu adalah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan mengerjakan salat sunah. Namun demikian, seorang mukmin yang berilmu harus mengamalkan ilmunya. Sebab, amal ibadah adalah buahnya ilmu sehingga ilmu yang tidak diamalkan menjadi tidak bermanfaat (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 7 dan al-Futūḥāt al-Madaniyyah, hlm. 26).
Dua Cara Memperoleh Ilmu
Pada umumnya, ilmu hanya bisa diperoleh dengan cara belajar sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad saw., yaitu al-‘ilm bi at-ta‘allum (al-Gazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, III: 185). Menurut Syekh Nawawī, secara umum ada dua cara untuk mendapatkan ilmu. Pertama, kasbī (mencari), yaitu dengan cara terus-menerus belajar dan membaca kitab kepada seorang guru. Kedua, samā‘ī (mendengarkan), yaitu belajar dengan cara mendengarkan pelajaran dari seorang ulama mengenai urusan agama dan dunia. Hal ini bisa didapatkan dengan cara mencintai para ulama, bergaul dengan mereka, dan meminta penjelasan tentang keilmuan kepada mereka (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 7).
Namun demikian, menurut Syekh Nawawī, ada ilmu tertentu yang tidak bisa didapatkan dengan cara belajar, baik kasbī maupun samā‘ī. Ilmu tersebut adalah ilmu tentang segala yang tidak kelihatan (gaib), seperti rahasia alam dan sebagainya. Ia tidak bisa didapatkan dengan cara belajar (baik berguru kepada seorang guru maupun membaca buku), tetapi ia dipahami dan didapatkan dari Allah secarang langsung. Pendapat Syekh Nawawī ini didasarkan kepada Al-Anfāl (8): 29, yaitu “Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqān.” Menurut Syekh Nawawī, makna kata furqān adalah pemahaman di dalam kalbu yang didapatkan secara langsung dari Allah tanpa perantara seorang guru (Marāqiyy al-‘Ubūdiyyah, hlm. 5).
Syekh Nawawī menguatkan pendapatnya tersebut dengan Al-Baqarah (2): 282, yaitu “Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu (tanpa perantara seorang guru).” Pendapat ini sejalan dengan perkataan Imam Mālik (pendiri mazhab Mālikī), yaitu man ‘amila bi mā ‘alima waraśahullāhu ‘ilma mā lam ya‘lam (barang siapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahui, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum diketahui kepadanya). Menurut Syekh Nawawī, kata ‘alima merujuk kepada syariat, kata ‘amila merujuk kepada tarekat, dan kata waraśahullāhu ‘ilma mā lam ya‘lam merujuk kepada hakikat. Artinya, siapa saja yang mengetahui syariat, lalu mengamalkannya (tarekat), maka ia akan mendapatkan ilmu baru berupa hakikat, yaitu memahami hakikat segala sesuatu (seperti penyaksian terhadap hakikat asma-asma dan sifat-sifat Tuhan); memahami penyaksian terhadap zat Tuhan; memahami rahasia Al-Qur’an dan rahasia sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan dalam agama; dan memahami ilmu gaib yang tidak bisa didapatkan dengan cara belajar (Marāqiyy al-‘Ubūdiyyah, hlm. 4-5).
Jika epistemologi ilmu ala Syekh Nawawī tersebut dianalisis menggunakan kerangka berpikir Imam Al-Gazālī tentang ilmu ta‘līmī dan ilmu ilhāmī, maka kasbī dan samā‘ī termasuk ilmu ta‘līmī, yaitu ilmu yang didapatkan dengan cara belajar. Adapun ilmu gaib yang tidak bisa didapatkan dengan cara belajar termasuk ilmu ilhāmī, yaitu ilmu yang dipahami dan didapatkan secara langsung dari Allah (penulis mengaji kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn kepada Gus Ulil Abshar Abdalla secara daring yang menjelaskan tentang ilmu ta‘līmī dan ilmu ilhāmī di bagian “Kitāb Syarḥ ‘Ajā’ib al-Qalb” sub bab “Bayān al-Farq bayn al-Ilhām wa at-Ta‘allum wa al-Farq bayn Ṭarīq aṣ-Ṣufiyyah fī Istiksyāf al-Ḥaqq wa Ṭarīq an-Nuẓẓār”, “Bayān al-Farq bayn al-Maqāmayn bi Miśālin Maḥsūsin”, dan sub bab “Bayān Syawāhid asy-Syar‘i ‘alā Ṣiḥḥah Ṭarīq Ahl at-Taṣawwuf fī Iktisāb al-Ma‘rifah Lā min at-Ta‘allum wa Lā min aṭ-Ṭarīq al-Mu‘tād”).
Menata Kalbu, Menata Niat
Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh seorang mukmin yang mencari ilmu adalah niat. Ia tidak boleh menyepelekan masalah niat dalam mencari ilmu. Sebab, menurut Syekh Nawawī, niat merupakan penentu utama untuk memperoleh semua kebaikan. Dalam hal ini, jika seorang mukmin melakukan amal ibadah dan meninggalkan larangan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan semua kebaikan. Sebaliknya, jika ia melalaikan niat tersebut dalam melakukan amal ibadah dan meninggalkan larangan, maka ia akan luput dari semua kebaikan (al-Futūḥāt al-Madaniyyah, hlm. 5).
Oleh karena itu, Syekh Nawawī menyebutkan beberapa niat yang harus diamalkan oleh setiap pelajar ketika mencari ilmu. Pertama, berniat untuk mendapatkan rida Allah dan kebahagiaan di akhirat kelak. Kedua, berniat untuk menghilangkan kebodohan diri sendiri dan orang lain. Ketiga, berniat untuk menghidupkan dan mengukuhkan agama dengan ilmu. Keempat, berniat untuk mensyukuri nikmat berupa akal dan kesehatan jasmani. Beliau menegaskan bahwa seorang mukmin yang sedang mencari ilmu tidak boleh berniat untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari manusia, memperoleh kekayaan dan kenikmatan duniawi, atau mendapatkan kedudukan dan kemuliaan di sisi pemerintah. Menurut Syekh Nawawī, seorang alim yang lebih mementingkan kebahagiaan ukhrawi daripada kemewahan duniawi memiliki tiga tanda. Pertama, ia tidak menggunakan ilmunya untuk meraup kekayaan dan kenikamatan duniawi. Kedua, ia suka menyibukkan diri dengan ilmu yang menyebabkan dirinya mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Oleh karena itu, ia sangat peduli terhadap ilmu batin untuk memperbaiki dan memelihara kalbunya. Ketiga, ia senantiasa berpegang teguh kepada ilmunya untuk terus-menerus mengikuti sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw. (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 7-8).
Adapun tanda seorang alim yang tidak menjadikan ilmunya untuk meraup kekayaan dan kenikmatan duniawi ada lima. Pertama, ucapan dan perbuatannya selaras. Oleh karena itu, ia akan menjadi orang pertama yang akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memprioritaskan ilmu sesuai kemampuannya, gemar melaksanakan ketaatan, dan menjauhi ilmu yang hanya melahirkan perdebatan-perdebatan. Ketiga, menjauhi kemewahan makanan, rumah, harta benda, dan pakaian. Keempat, menjaga jarak dengan pemerintah. Ia akan mendekati pemerintah hanya untuk memberikan nasihat kepadanya, atau mencegah kezalimannya, atau memberikan pertolongan kepadanya mengenai perkara-perkara yang diridai oleh Allah. Kelima, tidak terburu-buru memberikan fatwa kepada orang yang meminta fatwa. Sebaliknya, ia akan berhati-hati dengan cara menyuruh orang itu untuk bertanya kepada orang lain yang lebih ahli dalam masalah fatwa. Selain itu, ia tidak akan melakukan ijtihad sendiri secara sembarangan jika tidak memiliki kapasitas dalam masalah ijtihad. Sebaliknya, ia akan mengatakan tidak tahu jika memang tidak mampu berijitihad (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 8).
Ilmu sebagai Laku Spiritual
Menyebarkan ilmu syariat yang sudah dipelajari termasuk cabang keimanan yang harus dilakukan oleh setiap mukmin. Dalam hal ini, Syekh Nawawī menyebutkan bahwa setiap ahli ilmu wajib mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Ahli ilmu di sini merujuk kepada setiap orang yang paham terhadap satu masalah tertentu. Bahkan, setiap orang awam yang mengerti tentang syarat dan rukun salat, maka dia wajib mengajarkannya kepada orang lain. Jika dia tidak mengajarkannya, maka dia ikut berdosa atas kebodohan orang lain tersebut tentang syarat dan rukun salat (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 7-8).
Menurut Syekh Nawawī, di setiap masjid, tempat, dan kampung dalam sebuah negara harus ada seorang fakih yang mengajar dan membimbing masyarakat sekitar tentang ilmu agama. Seorang fakih tidak hanya wajib menunaikan fardu ain berupa mengajarkan ilmunya kepada orang lain, tetapi dalam waktu tertentu ia juga harus meluangkan waktunya untuk menunaikan fardu kifayah berupa khurūj dakwah, yaitu pergi ke daerah tetangga untuk mengajar ilmu agama kepada masyarakat di sana. Dalam hal ini, ia harus membawa bekal sendiri dan tidak boleh mengharap suguhan dan pemberian dari masyarakat. Syekh Nawawī menjelaskan bahwa jika ada seorang alim melaksanakan fardu kifayah berupa khurūj dakwah, maka orang lain bebas dari kewajiban khurūj dakwah tersebut sehingga ia tidak berdosa meskipun tidak melaksanakannya. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban khurūj dakwah tersebut, maka semua orang berdosa, baik orang yang alim maupun orang awam. Orang yang alim berdosa karena tidak mau khurūj dakwah untuk mengajarkan ilmu agama kepada orang awam, sedangkan orang awam berdosa karena tidak mau menuntut ilmu agama (Qāmi‘ at-Tugyān, hlm. 8).
Oleh karena itu, at-ta‘līm (mengajar) dan at-ta‘allum (belajar) memiliki kedudukan yang sangat utama dalam Islam. Keduanya tidak hanya menjadi aktivitas keilmuan semata, tetapi juga menjadi jalan spiritual yang bisa mendekatkan seorang salik kepada Allah. Bahkan, K.H. Ahmad Djazuli Utsman (Pendiri Pondok Al Falah Ploso, Kediri) menyebutkan bahwa jalan yang paling utama menuju Allah adalah jalan mengajar dan belajar (afḍalu aṭ-ṭuruq ilallāhi ṭarīqah at-ta‘līm wa at-ta‘allum). Menurut Syekh Nawawī, para salik yang menempuh laku spiritual untuk menggapai kebahagiaan hidup di akhirat terdiri dari enam jenis. Pertama, ahli ibadah (‘ābid). Kedua, ahli ilmu (‘ālim). Ketiga, pelajar (muta‘allim). Keempat, buruh (muḥtarif). Kelima, pemerintah (wālin), baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Keenam, orang yang tenggelam di dalam mengesakan Tuhan (muwaḥḥid) (aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 94).
‘Ālim adalah salik yang memberikan manfaat kepada orang lain dengan ilmunya, baik berupa fatwa, pengajaran, maupun karangan. Oleh karena itu, pekerjaan yang paling utama bagi seorang alim setelah melaksanakan salat fardu dan sunah rawatib adalah mengajar, menulis, dan memberikan fatwa. Dengan kata lain, seorang alim―setelah melaksanakan salat fardu dan sunah rawatib―harus lebih mendahulukan aktivitas keilmuan daripada ibadah-ibadah sunah. Dengan catatan aktivitas keilmuan tersebut berkaitan dengan ilmu yang mengantarkan manusia gandrung terhadap kebahagiaan di akhirat, zuhud terhadap kemewahan dunia, dan membantu mereka untuk menempuh jalan akhirat. Adapun muta‘alim adalah salik yang menuju Allah dengan jalan menuntut ilmu. Oleh karena itu, menyibukkan diri dengan belajar adalah lebih utama baginya daripada menyibukkan diri dengan zikir dan ibadah sunah. Jika muta‘allim tersebut termasuk orang awam, maka menghadiri pengajian dan majelis ilmu adalah lebih utama baginya daripada menyibukkan diri dengan wiridan (aś-Śimār al-Yāni‘ah, hlm. 94).
Syekh Nawawī menyebutkan bahwa orang yang memiliki ilmu (‘alima), mengamalkan ilmunya (‘amila), dan kemudian mengajarkannya (‘allama) akan memiliki kedudukan yang sangat agung di akhirat kelak. Ia laksana matahari yang terang benderang dan menyinari mayapada. Ia laksana minyak kesturi yang semerbak dan mengharumkan kehidupan. Oleh karena itu, seorang alim yang menyibukkan diri dengan mengajar dan mendidik masyarakat harus menjaga adabnya karena ia telah mengambil urusan yang agung dan resiko yang besar. Dalam praktiknya, ada sebagian orang yang wusul kepada Allah dengan jalan mengajar dan mendidik masyarakat tentang ilmu agama, ibadah, dan akhlak yang luhur. Bahkan, ada sebagian orang yang wusul kepada Allah dengan jalan melayani (khidmah) ulama (seperi fakih, sufi, dan ahli agama). Menurut Syekh Nawawī, khidmah kepada ulama adalah lebih utama daripada ibadah sunah. Sebab, ia merupakan ibadah sekaligus membantu orang-orang Islam (Salālim al-Fuḍalā’ ‘alā Hidāyah al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’, hlm. 14). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam...