Hukum Mengucapkan Salam kepada Non Muslim dalam Khazanah Kitab Kuning

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Salah satu isu keislaman yang masih relevan dan menarik diperbincangkan di era milenial sekarang ini adalah hukum seorang muslim mengucapkan salam (as-salāmu ‘alaykum/kedamaian, rahmat Allah, dan keberkatan-Nya atasmu) kepada non muslim. Mengapa demikian? Sebab, banyak umat Islam, terutama di Indonesia, yang bersahabat dan bahkan hidup berdampingan dengan non muslim. Dalam kehidupan sehari-hari, tentu mereka akan sering berjumpa, saling tegur sapa, dan beriteraksi satu sama lain. Lalu, bagaimana jika seorang muslim ingin mengawali tegur sapanya kepada sahabatnya atau tetangganya yang non muslim dengan doa baik berupa as-salāmu ‘alaykum?

Baiklah. Jika kita mengulik kitab kuning, maka kita akan menjumpai ragam pendapat ulama mengenai hukum mengucapkan salam kepada non muslim. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum mengucapkan salam kepada non muslim merupakan masalah khilafiah yang masih diperselisihkan di antara para ulama fikih. Salah satu kitab kuning yang menyebutkan ragam pendapat ulama tentang hukum mengucapkan salam kepada non muslim adalah kitab Bustān al-‘Ārifīn karya Abū al-Layś Naṣr bin Muḥammad bin Ibrāhīm as-Samarqandī (333 H.-373 H.). Dalam hal ini, beliau menyebutkan dua pendapat utama dari kalangan para ulama.

Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum mengucapkan salam kepada non muslim adalah tidak apa-apa (boleh). Dasar pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abū Umāmah al-Bāhilī dan praktik sahabat nabi bernama ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Pertama, setiap kali Abū Umāmah al-Bāhilī bertemu dengan non muslim, baik Yahudi maupun Nasrani, maka beliau mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk menyebarkan salam kepada setiap muslim dan setiap mu‘āhid (non muslim yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin).”

Kedua, ‘Alqamah dan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd pernah bepergian ke sebuah distrik bernama Sāliḥīn. Setibanya di sana, mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi ditemani oleh sembilan pemimpin distrik Sāliḥīn yang notabene non muslim. Ketika sampai di kota Kufah, mereka berpisah dengan ‘Alqamah dan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Maka, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd mengucapkan salam kepada mereka. Mendengar hal itu, ‘Alqamah langsung protes kepada ‘Abdullāh bin Mas‘ūd seraya berkata, “Anda mengucapkan salam kepada orang-orang kafir itu?” Lalu, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd menjawab, “Iya. Sesungguhnya mereka telah menemani (perjalanan) kita. Dan pertemanan juga memiliki hak (yang harus dipenuhi).” (Bustān al-‘Ārifīn, hlm. 55-56)

Selain itu, Abū Ḥātim ar-Rāzī menyebutkan kisah Asad bin Wadā‘ah yang memiliki kebiasaan mengucapkan salam kepada non muslim. Dalam hal ini, setiap kali dia bertemu dengan non muslim, baik Yahudi maupun Nasrani, maka dia mengucapkan salam kepadanya. Ketika ditanya perihal perbuatannya tersebut, maka dia menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘wa qūlū li an-nās ḥusnā/dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (Al-Baqarah [2]: 83).’ Makna ‘kata-kata yang baik’ itu adalah salam.” (Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm Musnadan ‘an ar-Rasūl ṣallallāhu ‘alayh wa sallam wa aṣ-Ṣaḥābah wa at-Tābi‘īn, I, 1439 H.: 305)

Pendapat kedua mengatakan bahwa hukum mengucapkan salam kepada non muslim adalah tidak boleh (haram). Akan tetapi, jika ada non muslim mengucapkan salam kepada muslim, maka ia harus menjawab salam non muslim tersebut (Bustān al-‘Ārifīn, hlm. 55). Pendapat kedua ini juga dikemukakan oleh mayoritas ulama mazhab asy-Syāfi‘ī. Namun, sebagian ulama mazhab asy-Syāfi‘ī berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam kepada non muslim adalah makruh, bukan haram (An-Nawawī, al-Ażkār an-Nawawiyyah, hlm. 216).

Dasar pendapat kedua tersebut adalah beberapa hadis. Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abū Hurayrah, yaitu “Janganlah kalian mulai bersalam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Jika kalian bertemu dengan mereka di tengah jalan, maka desaklah mereka ke pinggir jalan.” Kedua, perkataan Imam ‘Alī bin Abī Ṭālib, yaitu “Janganlah kalian mengucapkan salam kepada orang Yahudi, Nasrani, dan majusi.” Ketiga, hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin ‘Umar, yaitu “Jika orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah (dengan mengucapkan) wa ‘alaykum. Dan janganlah kalian menambahkan (kalimat lain) terhadap kalimat (wa ‘alaykum) tersebut.” (Bustān al-‘Ārifīn, hlm. 56)

Menurut Anas bin Mālik, Nabi Muhammad saw. melarang umat Islam untuk menambahkan kalimat lain setelah wa ‘alaykum (Bustān al-‘Ārifīn, hlm. 56). Artinya, ketika ada orang non muslim mengucapkan salam kepada muslim, maka ia hanya boleh menjawabnya dengan kalimat wa ‘alaykum dan tidak boleh menjawabnya dengan kalimat wa ‘alaykum as-salām. Pendapat berbeda disampaikan oleh al-Māwardī. Menurutnya, seorang muslim boleh menjawab salam non muslim dengan kalimat wa ‘alaykum as-salām, dan tidak boleh ditambahi kalimat wa raḥmatullāh (al-Ażkār an-Nawawiyyah, hlm. 216).

Abū al-Layś as-Samarqandī sendiri mengikuti pendapat yang kedua. Menurutnya, jika seorang muslim bertemu dengan sekelompok orang yang terdiri dari orang-orang muslim dan orang-orang non muslim, maka ia boleh memilih di antara dua hal berikut. Pertama, dia boleh mengucapkan salam (as-salāmu ‘alaykum) di mana ucapan salam ini hanya dimaksudkan kepada orang-orang muslim semata. Kedua, ia boleh mengucapkan salam dengan redaksi lain, yaitu as-salām ‘alā man ittaba‘a al-hudā (keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk). (Bustān al-‘Ārifīn, hlm. 55-56) Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam...