Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, Mahaguru Ulama Nusantara yang Kosmopolitan
Kontributor: Nasrullah Ainul Yaqin
Jika kita membuka lembaran-lembaran karya mahaguru ulama Hijaz dan Nusantara abad ke-19 yang kesohor dengan gelar Sayyid ‘Ulamā’ al-Ḥijāz (Pemimpin Ulama Hijaz), Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, maka kita akan menjumpai keluasan wawasan dan pengetahuan (kosmopolitan) yang beliau miliki. Menurut Martin Van Bruinessen, Syekh Nawawī adalah “pemikir dan penulis Nusantara terhebat sepanjang masa”. Karya-karyanya tidak hanya menjadi bahan pengajaran di pesantren-pesantren Nusantara hingga kini, tetapi juga menjadi sumber pembentukan diskursus keislaman berbasis pesantren. Oleh karena itu, beliau memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan keilmuan Islam dan mendidik ulama-ulama pesantren. Bahkan, beliau merupakan “sosok yang sesungguhnya di balik kebangkitan Islam Nusantara” sebagaimana disebutkan oleh Abdul Kadir Riyadi. Sebab, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dan pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari, merupakan murid Syekh Nawawī (Arkeologi Tasawuf: Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, 2016: 365-366 dan Jajat Burhanudin, Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, 2012: 114-115).
Tulisan sederhana ini mengulas keluasan wawasan dan pengetahuan Syekh Nawawī dari dua aspek, yaitu fikih dan tasawuf. Syekh Nawawī merupakan pengikut Ahlussunnah wal Jamā‘ah (Sunnī). Dalam hal ini, beliau mengikuti al-Asy‘arī di bidang akidah, asy-Syāfi‘ī di bidang fikih, al-Gazālī di bidang tasawuf, dan al-Qādiriyyah di bidang tarekat (Arkeologi Tasawuf, hlm. 367). Pengakuan Syekh Nawawī bahwa dirinya mengikuti al-Asy‘arī di bidang akidah, mazhab asy-Syāfi‘ī di bidang fikih, dan al-Qādiriyyah di bidang tarekat tercatat jelas di bagian pendahuluan kitab Nihāyah az-Zayn fī Irsyād al-Mubtadi’īn (syarah atas kitab Qurrah al-‘Ayn bi Muhimmāt ad-Dīn fī al-Fiqh ‘alā Mażhab al-Imām asy-Syāfi‘ī karya Syekh Zaynuddīn al-Malībārī) dan Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Masā’il (syarah atas kitab ar-Risālah al-Jāmi‘ah bayna Uṣūl ad-Dīn wa al-Fiqh wa at-Taṣawwuf karya Sayyid Aḥmad bin Zayn al-Ḥabsyī).
Bahkan, Syekh Nawawī bertabaruk dengan Syekh ‘Abdul Qādir al-Jailānī di bagian penutup kitab Bahjah al-Wasā’il seraya berkata, “wa raḍiyallāhu ta‘ālā ‘an sayyidī ‘abd al-qādir al-jaylānī” (semoga Allah meridai tuanku, ‘Abdul Qādir al-Jailānī). Pengaruh Syekh ‘Abdul Qādir al-Jailānī terhadap Syekh Nawawī tidak hanya berkaitan dengan aspek rohani saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek keilmuan. Dalam kitab Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś (syarah atas kitab Lubāb al-Ḥadīś karya Syekh Jalāluddīn ‘Abd ar-Raḥmān as-Suyūṭī), misalnya, Syekh Nawawī banyak sekali mengutip pendapat Syekh ‘Abdul Qādir al-Jailānī. Namun demikian, sebagai seorang sarjana, Syekh Nawawī tidak bersikap fanatik terhadap mazhab dan tarekat yang dianutnya. Sebaliknya, beliau bersikap terbuka terhadap pemikiran lain di luar mazhab asy-Syāfi‘ī dan tarekat al-Qādiriyyah. Inilah salah satu teladan dari Syekh Nawawī yang perlu diperhatikan dan ditiru.
Fakih yang Kosmopolitan
Dalam masalah fikih, Syekh Nawawī mewajibkan kepada setiap muslim yang tidak mampu berijtihad secara mutlak untuk bertaklid kepada salah satu mujtahid yang empat, yaitu Imam Abū Ḥanīfah (pendiri mazhab Ḥanafī), Imam Mālik (pendiri mazhab Mālikī), Imam asy-Syāfi‘ī (pendiri mazhab asy-Syāfi‘ī), dan Imam Aḥmad bin Ḥanbal (pendiri mazhab Ḥanbalī). Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid-mujtahid lain selain mujtahid yang empat tersebut meskipun mujtahid-mujtahid itu merupakan para pembesar sahabat. Sebab, doktrin-doktrin mereka tidak terbukukan dan terverifikasi. Meskipun demikian, Syekh Nawawī masih menyebutkan pendapat sebagian ulama yang membolehkan bertaklid kepada mujtahid-mujtahid lain selain mujtahid yang empat tersebut asalkan bukan untuk memberikan fatwa (aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 13).
Begitu pula mengenai pindah mazhab (intiqāl al-mażhab) ke mazhab lain dalam persoalan tertentu. Dalam hal ini, Syekh Nawawī menyebutkan tiga pendapat ulama. Pertama, tidak boleh secara mutlak. Kedua, boleh secara mutlak. Ketiga, boleh jika dalam penggabungan dua pendapat mazhab itu tidak menyalahi ijmak. Jika dalam penggabungan dua pendapat mazhab itu menyalahi ijmak, maka ia (pindah mazhab) tidak boleh, seperti menikah tanpa mahar, wali, dan saksi. Sebab, tidak ada satu pun mujtahid yang memperbolehkan pernikahan semacam ini (hlm. 13).
Dalam praktiknya, Syekh Nawawī sering kali menyebutkan pendapat ulama lain di luar mazhab asy-Syāfi‘ī, seperti Imam Abū Ḥanīfah, Imam Mālik, Imam Aḥmad bin Ḥanbal, Imam ‘Abdullāh bin al-Mubārak, Imam Isḥāq, dan Imam Abū Śūr. Pertama, Syekh Nawawī menyebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang bismillāhir-raḥmānir-raḥīm yang terletak di awal setiap surah dalam Al-Qur’an (selain surah At-Tawbah); apakah ia termasuk ayat dari surah Al-Fātiḥah dan setiap surah lainnya atau tidak? Menurut Imam Mālik, bismillāhir-raḥmānir-raḥīm tidak termasuk ayat dari surah Al-Fātiḥah dan surah-surah yang lain. Menurut Imam ‘Abdullāh bin al-Mubārak, bismillāhir-raḥmānir-raḥīm termasuk ayat dari setiap surah dalam Al-Qur’an. Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam asy-Syāfi‘ī. Menurutnya, bismillāhir-raḥmānir-raḥīm termasuk ayat dari surah Al-Fātiḥah, dan beliau masih ragu apakah ia termasuk ayat dari surah-surah yang lain atau tidak (Kāsyifah as-Sajā, hlm. 3).
Kedua, Syekh Nawawī menyebutkan tentang kebolehan bertaklid kepada Imam Abū Ḥanīfah atau Imam Mālik dalam masalah jumlah minimal jemaah salat Jumat. Syaratnya adalah semua jemaah harus sama-sama bertaklid dan mengerti bahwa mereka sedang bertaklid kepada Imam Abū Ḥanīfah atau Imam Mālik yang memperbolehkan jumlah jemaah salat Jumat kurang dari 40 orang laki-laki. Namun demikian, mereka disunahkan untuk melaksanakan salat Zuhur setelah salat Jumat tersebut. Hal ini lebih berhati-hati karena keluar dari khilāf (perbedaan para ulama). Dalam hal ini, Imam Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa jumlah minimal jemaah salat Jumat adalah 4 orang laki-laki termasuk imam, sedangkan Imam Mālik berpendapat bahwa jumlah minimal jemaah salat Jumat adalah 20 orang laki-laki atau 30 orang laki-laki. Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam asy-Syāfi‘ī. Menurutnya, salah satu syarat sahnya salat Jumat adalah harus dilaksanakan secara berjemaah minimal oleh 40 orang laki-laki yang memenuhi syarat, seperti Islam, mukalaf, merdeka, sehat, dan bermukim (bukan musafir) (Kāsyifah as-Sajā, hlm. 94).
Ketiga, Syekh Nawawī menyebutkan tentang kebolehan bertaklid kepada Imam Abū Ḥanīfah atau Imam Mālik dalam masalah niat puasa Ramadan untuk menjaga diri ketika lupa berniat. Dalam hal ini, Imam asy-Syāfi‘ī berpendapat bahwa niat puasa Ramadan wajib dilakukan setiap malam selama bulan Ramadan. Jika seorang muslim lupa berniat pada malam hari, maka ia tetap wajib berpuasa dan wajib mengqadanya pada hari yang lain. Hal ini karena puasa yang dilakukan tanpa niat pada malam hari adalah tidak sah. Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam Mālik. Menurutnya, seorang muslim boleh berniat puasa Ramadan sebulan penuh pada malam pertama bulan Ramadan. Dengan demikian, jika―misalkan―ia lupa berniat puasa pada suatu malam, maka ia masih bisa berpuasa, dan puasanya itu tetap sah karena ia sudah berniat puasa Ramadan selama sebulan penuh sebagaimana dilakukan pada malam pertama bulan Ramadan tersebut. Adapun Imam Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa muslim yang lupa berniat puasa Ramadan pada malam hari, maka ia masih bisa berpuasa dengan cara berniat di pagi hari (Kāsyifah as-Sajā, hlm. 117 & 120).
Sufi yang Kosmopolitan
Dalam masalah tasawuf, Syekh Nawawī juga sering mengutip pendapat ulama lain selain Imam al-Gazāli dan Syekh ‘Abdul Qādir al-Jailānī―seperti Syekh al-Qusyayrī, Syekh as-Suhrawardī (penulis kitab ‘Awārif al-Ma‘ārif), Syekh Abū Yazīd al-Busṭāmī, Syekh ‘Alī asy-Syāżilī (pendiri tarekat asy-Syāżiliyyah), Syekh ‘Abdullāh bin ‘Alawī al-Ḥaddād (salah satu tokoh utama dalam tarekat ‘Alawiyyah), Syekh al-‘Aydrūs, dan sosok kontroversial asal Andalusia yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabī (tokoh utama dalam tarekat Akbariyyah)―sebagaimana dijumpai dalam karyanya, Salālim al-Fuḍalā’ (syarah atas kitab Hidāyah al-Ażkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’ karya Syekh Zaynuddīn al-Malībārī) dan Naṣā’iḥ al-‘Ibād (syarah atas kitab al-Munabbihāt ‘alā al-Isti‘dād li Yawm al-Ma‘ād karya Syekh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī). Dalam konteks Ibnu ‘Arabī, Syekh Nawawī bahkan menulis kitab al-Futūḥāt al-Madaniyyah fī asy-Syu‘ab al-Īmāniyyah yang dinukil secara khusus dari kitab an-Nuqāyah karya Syekh Jalāluddīn ‘Abd ar-Raḥmān as-Suyūṭī dan kitab al-Futūḥāt al-Makkiyah karya Syaykh al-Akbar Ibnu ‘Arabī (Syekh Nawawī menyebutnya dengan Sayyidī asy-Syaykh Muhammad bin ‘Alī yang terkenal dengan Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī).
Berikut dua contoh pendapat Ibnu ‘Arabi yang dinukil oleh Syekh Nawawī di dalam kitab Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Masā’il (hlm. 3). Pertama, “Lahirku berkata kepada batinku, ‘Semua hakikat tanpa syariat adalah kosong. Sebab, ia terlepas dari syariat.’ Lalu, batinku menjawab perkataan lahirku tadi, ‘Semua syariat tanpa hakikat adalah batal. Sebab, hakikat adalah dasar di mana syariat dibangun di atas dasar tersebut.’ Lahirku berkata lagi, ‘Aku rela berada di maqām al-‘awwām (kedudukan orang-orang awam). Maqām al-‘awwām ini adalah firman Allah, yaitu ‘Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).’’ Batinku kemudian menjawab, ‘Engkau hanya meninggalkan dosa-dosa besar yang tampak, tetapi tidak meninggalkan dosa-dosa besar yang samar, yaitu sombong, ujub, riyā’, dan lain-lain.’” Kedua, “Dasarnya Islam ada lima, yaitu (1) mengetahui Tuhan yang harus disembah; (2) kanaah terhadap sesuatu yang ada (diberikan); (3) mencegah diri dari larangan-larangan; (4) memenuhi janji; dan (5) sabar atas sesuatu yang hilang.” Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam...