Wanita, Film Horor Indonesia, dan Ideologi Patriarki: Mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab Kritisi Komodifikasi Tubuh Wanita di IIC UMY
Yayik setelah presentasi di ICC UMY
Yogyakarta, 27 September 2025---Derasnya arus digitalisasi global menyebabkan perempuan menghadapi tantangan baru dalam bentuk patriarki digital, yakni sebuah struktur kekuasaan yang mereproduksi ketimpangan gender melalui platform daring. Ruang maya yang awalnya dijadikan arena demokratis, ternyata kerap memperkuat praktik misoginis dari dunia nyata. Mulai dari pelecehan berbasis gender, doxing, hingga penghapusan algoritmik konten feminis yang menjadi penghalang serius bagi perempuan untuk bersuara di ranah digital. Namun, di balik tantangan ini, muncul gelombang perlawanan yang progresif dan kreatif. Komunitas muda kini mulai membangun solidaritas digital lintas negara dan lintas isu.
Di Tengah krisis representasi perempuan muslim, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bersama dengan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) menyelenggarakan Immawati Internasional Conference (IIC) sebagai ruang strategis untuk menguatkan literasi global perempuan muslim, menyinergikan islam berkemajuan dengan feminisme, dan mewadahi produksi pengetahuan dengan mengusung tema “Transcending Boundaries, Reclaiming Space: Muslim Women Lead The Change”. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid yakni daring melalui platform konferensi virtual, dan secara luring di Yogyakarta yang melibatkan Immawati Nasional dan Internasional seperti (Tingkok, Malaysia, Iran), Mahasiswa Muslim Dunia, Aktivis dan tokoh perempuan muslim global, dan masyrakat umum.
Prodi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali berpartisipasi dengan mengirimkan mahasiswanya dalam ajang IIC yakni Yayik (22103060019) yang berhasil mempresentasikan artikel berjudul “LITERATURE REVIEW OF THE WOMEN'S BODY, HORROR FILMS, AND DIGITAL CENSORSHIP: BETWEEN CREATIVE EXPRESSION AND MORAL CONTROL IN INDONESIA”.
Dalam pemaparannya, Yayik menyoroti bahwa representasi tubuh perempuan dalam film horor Indonesia selalu berada dalam ruang ambivalen: antara antara simbol sakral yang mengandung makna religius dan budaya, serta objek profan yang dikomodifikasi untuk kepentingan ekonomi dan pasar. Kondisi ini menunjukkan bahwa film horor tidak pernah sekadar tontonan, melainkan ruang simbolik tempat tubuh perempuan diperebutkan maknanya. Di sisi lain, analisis berbasis gender mengungkap bahwa film horor Indonesia masih sarat dengan ideologi patriarki. Perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat, baik sebagai hantu yang gagal memenuhi peran tradisional maupun sebagai objek komersial yang dieksploitasi. Hal ini menandakan adanya reduksi agensi perempuan oleh media, sensor budaya, dan struktur kapitalistik. Oleh sebab itu, dibutuhkan narasi film horor yang lebih progresif, yang tidak hanya menjual ketakutan dan sensualitas, tetapi juga mampu menghadirkan representasi perempuan secara setara, kritis, dan membebaskan.
Hasil konferensi ini yakni artikel-artikel yang telah dipresentasikan, akan direvisi sesuai dengan arahan dan masukan dewan panelis untuk kemudian diterbitkan dalam jurnal pemikiran IMM.