Harmoni Hidup Sajian Kolak

Kontributor: Nurdhin Baroroh

Kolak merupakan satu jenis kudapan berkuah santan, beraroma harum dan berrasa manis yang hampir selalu ada dalam sajian berbuka puasa. Disajikan dalam sebuah mangkok dengan ragam macam jenis isian, antara lain irisan potongan kecil ubi kayu, ubi jalar, kolang-kaling dan juga pisang kepok. Pun demikian dalam perkembangannya isiannya bisa bervariasi dan berinovasi mengikuti perkembangan cita rasa yang selalu berkembang.

Dibalik tampilan yang sederhana, sajian ini merupakan bagian dari akulturasi budaya untuk aspek kuliner yang digunakan para wali dalam menyebarkan ajaran Islam. Konon mulai dari sisi nama dan komposisi isian di dalamnya, memiliki nilai filosofi ajaran agama yang sarat dengan dimensi vertikal dan horizontal – baca Hablun min Allah dan Hablun min an-Nas. Secara nama, kata kolak terambil dari 2 kata dalam Bahasa Arab – yaitu: Khala-Yakhlu dan Khalaqa-Yakhluqu.

Pertama Khola-Yakhlu yang artinya adalah kosong. Hal ini dapat dimaknai bahwasanya pada mulanya bumi ini merupakan alam yang kosong, kosong dalam artian tidak dihuni oleh makhluk yang memiliki beban melaksanakan taklif yaitu beban untuk menjadi pemimpin/khalifah serta mengemban amanat dari Allah Swt, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 30 dan Q.S. Al-Ahzab (33): 72. Karena itulah lantas Allah menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama dan kedua, yang kemudian terjadilah serangkaian kejadian di surga yang menyebabkan keduanya diturunkan oleh Allah Swt ke bumi ini dalam rangka berkembang biak sampai sekarang dan untuk kemudian mengemban beban taklif yaitu menjadi seorang pemimpin seperti tersebut di atas.

Kedua yaitu Kholaqa-Yakhluqu yang artinya menciptakan. Hal ini dimaksudkan bahwasanya bumi dan dunia beserta apa yang ada di dalamnya merupakan hasil ciptaan dari Allah Swt Sang Maha Pencipta dan Menciptakan. Sehingga padanan dari 2 aspek kebahasaan tersebut tersirat makna yang cukup dalam, bahwasanya Allah Maha Berkehendak dengan kekosongan yang ada di bumi ini, dan begitu juga sebaliknya Dia Maha Berkehendak atas isi dan pengisiannya dan juga atas ciptaan yang diciptakan-Nya. Dengan demikian sehingga apapun yang ada di atas muka bumi ini, semuanya berrasal dari-Nya dan pasti juga akan kembali kepada-Nya – Inna lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un.

Makna berat penyampaian kandungan dakwah dari Khala-Yakhlu dan Khalaqa-Yakhluqu dilakukan oleh para wali dengan bentuk sederhana dan mudah dipahami, yaitu dengan kata kolak. Secara komposisi dasar sajian kolak terdiri, yaitu ubi-ubian, pisang kepok, kolang-kaling dan kuah santan, yang kemudian disajikan dalam satu tempat penyajian, biasanya mangkok.

1. Ubi-ubian bisa ubi kayu atau ubi jalar. Ke dua jenis sumber makanan ini keberadaannya di dalam tanah atau berasal dari dalam tanah. Asal muasal dari tanah ini memiliki kandungan maksud bahwasanya manusia akan kembali lagi ke tanah, dikembalikan lagi ke bumi dan atau dikuburkan. Dengan kata lain bahwasanya dalam kehidupan ini tidak ada yang bersifat kekal, tidak ada yang abadi, semuanya bersifat kefanaan, yang berjiwa pasti mati dan dikembalikan ke tanah. Dari ajaran kefanaan milik makhluk, para wali juga mengajarkan ajaran kebaqaan/kekekalan Allah Swat, karena Dia Maha Kekal dan Abadi selamanya.

2. Pisang Kepok. Kata kepok sangat dekat dengan kata kapok, baik dalam Bahasa Jawa ataupun Indonesia. Kata kapok bermakna jera dan tidak akan berbuat lagi, yang dalam ajaran Agama Islam disebut dengan konsep taubat atau bertaubat. Yaitu sikap sadar dengan sepenuh hati serta jera sekaligus menyesal, sehingga tidak pernah lagi melakukan atau mengulang perbutan salah dan keliru yang pernah dilakukan pada masa lalu, namun justeru akan memperbaiki perbuatannya sebagai bentuk rasa sesal, jera serta kapok atas kesalahan di masa – baca Taubatan Nasuha. Hal ini bisa dilihat dalam Firman Allah Swt Q.S. At-Tahrim (66): 8

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

Potensi berbuat salah, berperilaku khilaf dan memiliki sifat lupa merupakan sebab-sebab adanya disharmonisasi dalam hubungan diantara sesama manusia dan disharmonisasi dalam hubungan dengan Allah Swt. Karenanya ajaran untuk kapok serta bertaubat diri merupakan konsep ajaran Islam ketika memahami posisi kemanusiaan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi salah, khilaf dan lupa.

3. Kolang kaling. Jenis buah yang akrab di telinga dan lidah orang Indonesia ini sarat nilai filosofi yang bisa diambil, salah satunya adalah filosofi untuk selalu eling, ingat diri dan sadar diri yang pada gilirannya adalah tidak lupa diri.

Ajaran ini mengajarkan bahwa setiap manusia harus sadar dan menyadari asal-usul penciptaan dan asal usul kehidupan. Dalam konteks keimanan, manusia berasal dari Allah Tuhan yang Menciptakan, Memberi kehidupan, Menganugerahkan rizki dan karunia tidak terhitung. Sehingga apabila tidak diciptakan, tidak diberi kehidupan, tidak diberi rizki dan kanuria, maka manusia itu tidak ada. Dalam konteks kehidupan, kita adalah sama yaitu sama-sama makhluk bernama manusia. Dengan adanya kesamaan ini, maka harus sadar dan ingat diri akan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup apabila tidak ada bantuan dari orang lain, ketidak berdayaan apabila tidak ada pertolongan orang lain.

Di awali dari sifat ujub, kemudian berembrio ke sombong/takabbur, terus berkembang kepada sikap ingin mengalahkan yang lain, lalu berakhir pada rasa ingin menguasai orang lain, merupakan urutan-urutan sifat burukyang bisa berakumulasi pada jauhnya sifat eling manusia ke Penciptanya, yang kemudian bermuara pada hilangnya sikap kemanusiaa itu sendiri. Dalam ajaran filosofi Jawa, ketidak elingan itu di kenal dengan istilah sopo siro sopo ingsun ?

4. Kuah bersantan. Disharmonisasi dalam hubungan manusia dengan Allah Swt sebagai Sang Khaliq bisa diselesaikan dengan mudah oleh manusia dengan cara istighfar, taubat, kapok, dan eling untuk tidak mengulangi lagi. Namun disharmonisasi dalam hubungannya dengan sesama manusia diperlukan satu aksi tindakan khusus nan nyata yaitu mengakui satu kesalahan dihadapan orang lain, serta juga saling memberi maaf atau saling memaafkan, yang termanifestasikan dalam kata santan.

Santan dalam Bahasa Jawa disebut Santen. Kata Santen sangat dekat dengan kata Apunten atau memberi maaf, kemungkinan inilah yang menginspirasi adanya pantun yang masyhur dengan menggunakan kata Santen, yaitu “kupat duduhe santen, nek kulo wonten lepat nyuwun pangapunten – “Hidangan kupat kuahnya bersantan, apabila saya salah mohon dimaafkan”. Wallahu A’lam Bi ash-Shawab.