Public Lecture: Dinamika Ham Internasional Bersama Ketua Komnas Ham Ri

Oleh: Yayik (Mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab)

Yogyakarta, 24 Mei 2025Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, Anis Hidayah memberikan kuliah umum bertajuk “Dinamika HAM Internasional” melalui zoom meeting. Kegiatan ini merupakan kuliah penutup dari mata kuliah Hukum Antar Tata Hukum dan Hukum Internasional yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara untuk mahasiswa semester 4 dan Program Studi Perbandingan Madzhab untuk mahasiswa semester 6.

Dalam paparannya, Anis menjelaskan mengenai sejarah munculnya HAM, perkembangan HAM, isu-isu HAM global, instrumen HAM internasional, termasuk krisis kemanusiaan di berbagai negara, tantangan penegakan hukum internasional, serta posisi strategis Indonesia dalam forum-forum HAM dunia.

“Masyarakat di Amerika mengalami perilaku sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa sehingga masyarakatnya menuntut adanya perilaku bijak dan adil dari mereka yang berkuasa. Pergerakan itu memunculkan namanya magna carta. Jadi itu bagian dari sejarah bagaimana menemukan hak-hak yang muncul di antara sejarah peradaban manusia. Kemudian juga muncul bagaimana perlakuan antara satu orang dengan orang yang lain masih di satu kawasan yang sama di Amerika juga. Terjadi situasi dimana orang kulit putih dan kulit hitam, orang berasal dari suku yang berbeda, itu kemudian tidak diperlakukan setara, itu juga merupakan salah satu konsepsi populer dalam konsepsi HAM Internasional yang kemudian disebut dengan Amerika Bill Of Human Right,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa di beberapa negara seperti Inggris, sejarah perlakuan terhadap manusia menunjukkan dinamika yang berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, penting untuk mencermati bagaimana perkembangan dan dinamika tersebut membentuk perlakuan terhadap manusia, yang sejatinya mestinya merdeka, setara, dan memiliki martabat. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak selalu terjadi. Proses panjang menuju pengakuan hak asasi manusia dapat dilihat dari sejumlah tonggak sejarah penting, seperti Magna Carta pada tahun 1215, yang merupakan awal dari pembatasan kekuasaan raja. Kemudian di Amerika Serikat, lahirlah Bill of Rights pada tahun 1791, yang memperkuat perlindungan hak-hak individu. Puncaknya, setelah melalui perjuangan global yang panjang, pada tahun 1948 dunia akhirnya mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai bentuk pengakuan atas hak-hak dasar yang melekat pada setiap manusia.

“Berdasarkan segi dinamika setidaknya ada lima mekanisme yang menjadi bagaimana HAM menjadi satu norma: yakni penindasan/kesewenang-wenangan, penemuan hak, pengakuan, kodifikasi dan mekanisme penegakan HAM. HAM mengalami perkembangan,” tegasnya.

Anis Hidayah juga menjelaskan mengena 3 generasi HAM: Generasi pertama: Fundamental Rights (Hak Sipil Politik)/prinsip kebebasan karena hak-hak inilah yang menjadi dasar utama bagi pemenuhan hak-hak lainnya. Hak-hak ini mencakup kebebasan berpikir, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, bebas dari penyiksaan, serta hak atas rasa aman. Tanpa pemenuhan hak-hak ini, maka pemenuhan hak-hak lain seperti hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin terwujud. Generasi HAM kedua: hak persamaan (hak ekonomi, sosial, budaya) mencakup seluruh dimensi kehidupan sehari-hari. Seperti: orang diupah atau tidak, bisa menegenyam pendidikan atau tidak, berhak mendapatkan pangan, sandang, papan atau tidak. Ini adalah prinsip persamaan dimana setiap orang berhak sejahtera. Generasi ketiga HAM: prinsip komunal (hak dinikmati bersama) sifatnya solidaritas/kelompok. Misal: hak pembangunan, perdamaian.

“Kejahatan kemanusiaan di Gaza hari ini semua hak nya dilanggar karena genosida. Civil politik nya dilanggar, ekonomi, sosial, budaya dan komunalnya juga dilangga,” ungkapnya dengan haru.

Ia juga menjelaskan sembilan instrumen pokok HAM internasional: Contoh instrumen baru, masyarakat internasional belum memiliki instrumen internasional yang sifatnya kovenan seperi perlindungan masyarakat adat karena sifatnya masih deklarasi. Ini membuktikan bahwa di tingkat internasional dinamika pembentukan HAM masih berkembang sampai saat ini.

Posisi Indonesia dari ke sembilan instrumen ada satu instrumen yang belum diratifikasi yakni perlindungan dari penghilangan paksa. Setiap instrumen internasional bagi yang sudah meratifikasi memiliki kewajiban menjalankan. Hingga saat ini instrumen yang ada pemerintah sudah meratifikasi tanpa reservasi tetapi mengecualikan untuk tidak mengesahkan individual complen. Konsekuensinya adalah masyarakat Indonesia yang hak nya dilanggar pemerintah dan sudah menempuh mekanisme yang ada di Indonesia namun tidak mendapat akses keadilan, maka setiap warga negara bisa melaporkan kepada PBB. Namun, karena pemerintah kita mereservasi maka itu tidak bisa digunakan.

Dalam sesi diskusi, para peserta aktif bertanya dan mengangkat isu-isu terkini, seperti isu mengenai langkah-langkah yang diambil menyelesaikan kasus taman safari. Ia menejelaskan bahwa kasus itu sudah pernah dilaporkan ke komnas ham tahun 1997. Ditemukan temuan utama, penghilangan asal usul anak, eskploitasi anak, perbudakan. Selain itu ada juga pertanyaan mengenai putusan pengadilan di tingkat nasional apakah bisa menyelesaikan permasalahan ringkat internasional?Apakah mekanisme penyelesaian tkngkat nasional sama dengan ringkat internaisonal. Dibentuk hakim, sidang, pencari fakta, diputuskan. Seperti kasus di Gaza, di icj tidak berjenjang. Jika ditingkat nasional mekanismenya tidak ada yang bisa ditempuh lagi maka bisa dibawa ke tingkat internasional. Namun, negara kita tidak bisa karena tidak meratifikasinya. Bahkan hingga ada beberapa organisasi membentuk organisasi internasional people code di Belanda untuk menyindir pemerintah Indonesia karena tidak meratifikasi ICC. Dan putusan pengadilan nasional tidak bisa menjadi landasan di tingkat internasional karena memiliki sistem hukum yang berbeda.

Kuliah umum ini ditutup jam 20.30 dengan pertanyaan dari nara sumber kepada audiens. Dengan berakhirnya kuliah umum tersebut, diharapkan para peserta dapat memahami pentingnya penegakan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan sehari-hari. Melalui wawasan dan diskusi yang disampaikan, acara ini menjadi momentum untuk menumbuhkan kesadaran kritis serta semangat kolaboratif dalam menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat.