Malu Adalah Filter Penyaring

Kontributor: H. Nurdhin Baroroh

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ” رَوَاهُ البُخَارِي

Ada beberapa definisi dari kata malu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pertama adalah satu perasaan dari dalam diri yaitu merasa sangat tidak enak hati – seperti hina, rendah dan sebagainya – karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya), contohnya ungkapan “anak itu malu karena kedapatan sedang mencuri uang”. Kedua, segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya, contoh adalah murid yang merasa bersalah itu malu menemui gurunya. Dan Ketiga, adalah kurang senang (rendah, hina dan sebagainya), contoh adalah ungkapan Ahmad merasa malu berada di tengah-tengah orang penting itu.

Ketiga definisi di atas mengerucut pada dua kata, yaitu kontrol dan diri – baca: kontrol diri – sehingga apabila mengacu pada KBBI di atas, maka malu bisa menjadi:

  1. Kontrol diri agar perbuatan hina, rendah, kurang baik dan lain-lain yang pernah dilakukan pada masa dulu tidak diulangi kembali, karena bisa menyebabkan perasaan tidak enak hati.
  2. Kontrol diri ketika berperilaku dalam pergaulan, karena munculnya rasa hormat dan atau segan kepada orang lain. Sehingga ketika bergaul ada unsur penghormatan yang dikedepankan di hadapan orang lain, demi menghindari hal-hal yang tidak enak di kemudian hari.

Kontrol diri melalui adanya rasa malu dalam diri manusia tersebut, maka mendahulukan untuk berpikir, mempertimbangkan dan merenungkan akibat-akibat yang ditimbulkan di kemudian waktu, akan lazim dikedepankan sebelum berbuat atau melakukan suatu perbuatan yang mungkin saja dikemudian berdampak pada kemunculan rasa hina, rendah, kurang baik serta tidak enak dalam hati.

Melihat pada fungsi itulah, maka malu merupakan satu sifat mulia yang dianugerahkan Allah Swt kepada makhluk bernama manusia, karena malu berkaitan dengan hati nurani dan akhlaq. Dengan melihat pada keberadaannya yang berkaitan dengan hati nurani dan akhlaq, maka tidak heran apabila kemudian hadis di atas meyebutkannya menjadi satu satu ajaran yang terus berkelanjutan disampaikan dalam risalah kenabian terdahulu – baca: dari ajaran Nabi Adam As sampai dengan Nabi Muhammad Saw. Merasa malu karena tidak sesuai dengan kemurnian hati nurani, pun demikian merasa malu karena tidak sesuai dengan nilai akhlaq. Karenanya malu yang benar adalah perasaan yang membuat seseorang berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan, serta berusaha untuk selalu melakukan kebaikan dan menghindari keburukan, karena pemenuhan kepada kebaikan serta penghindaran dari keburukan akan mendatangkan kemaslahatan.

Dampak dan akibat akan menjadi perhatian serta pemikiran sebelum melakukan pekerjaan atau menghindari pekerjaan. Dengan rasa malu, akan mengarah pada pertanyaan, kenapa berbuat dan untuk apa berbuat ? sehingga malu menjadi filter ampuh untuk menghindari akibat jelek dari sebuah sebab, baik berupa sebab perkataan dan ataupun perbuatan. Dua adagium Arab dan Jawa layak untuk dikedepankan berkaitan dengan fitrah malu ini, yaitu “Fakkir Qabla an Ta’zima” dan “digelar lan digulung”. Adagium itu mengajak kita untuk berpikir sebelum mewujudkan/merealisasikan satu hal menjadi ucapan dan atau tindakan, dengan menjalan, sehingga dengan sendirinya apabila filter malu ini terus dibiasakan demi mengantarkan kepada nilai kebaikan lebih, maka akan bisa menghindarkan manusia dari berbuat yang tanpa kontrol atau perbuatan berdasar keinginan sendiri “Fa Ishna’ Ma Syi’ta

Kolom Terkait